Lebih dari 500 insinyur seluruh negara ASEAN berkumpul selama tiga hari lalu di Yangoon, Myanmar untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan di acara Konferensi AFEO (Perhimpunan Organisasi Insinyur se-ASEAN) ke-32. Konperensi internasional ini sekaligus menjadi ajang urun-rembug dan konsolidasi para insinyur negara ASEAN dalam menghadapi tantangan besar dengan mulai diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun depan.
Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Bobby Gafur Umar mengemukakan, ada kesamaan pandangan bahwa para insinyur dari negara di kawasan ASEAN sudah saatnya menerapkan regulasi yang selaras dan standar yang sama di setiap negara.
“Jika tidak, manfaat MEA tidak akan dapat dimaksimalkan secara merata oleh setiap anggota ASEAN,” kata Bobby keterangan persnya.
Bobby mengatakan, dalam forum tersebut, pihaknya memaparkan berbagai pengalaman Insinyur Indonesia dalam banyak bidang, termasuk pengerjaan infrastruktur jalan tol, penanganan dan mitigasi bencana, serta presentasi tentang green energy di Indonesia.
“Totalnya, ada 59 topik yang dipaparkan Insinyur se-ASEAN dalam ajang 3 hari tersebut. Banyak hal yang kami bahas dan carikan solusinya dalam pertemuan-pertemuan teknis kami di Yangoon ini. Intinya, kami beruntung dapat mengambil banyak manfaat dari pemaparan teman-teman sesama insinyur ASEAN, khususnya dalam hal solusi untuk ketersediaan energi, transportasi dan infrastruktur yang terintegrasi,” sebutnya.
MEA yang akan diberlakukan efektif pada tahun 2015, menurut Bobby, tidak harus menjadi momok yang menakutkan bagi para insinyur Indonesia. “Kita tidak perlu takut, tetapi memang harus lebih siap. Sebab, jika tidak siap, bukan hanya hasil dan produk industri dalam negeri yang terancam, tapi penyedia jasa lokal pun akan gigit jari melihat lahan pekerjaan mereka dirampas tenaga asing,” kata Bobby.
Kenyataannya, Indonesia memang dihadapkan pada berbagai tantangan berat dalam menyongsong pasar bebas tersebut. Salah satunya, terkait dengan ihwal daya saing tenaga ahli Indonesia.
“Meningkatkan daya saing para insinyur Indonesia sehingga mereka memiliki kompetensi dan keahlian yang sesuai dengan standar mutual recognition arrangements (MRA) dan bersertifikai ASEAN Chartered Professional Engineer (ACPE), adalah sebuah tantangan dan pekerjaan rumah yang harus segera kita atasi. Insinyur Indonesia harus memiliki daya saing lebih,” katanya.
Sebagai catatan, hingga Agustus 2014, Indonesia baru memiliki 124 tenaga insinyur yang memenuhi standar kompetensi dan keahlian yang sesuai dengan standar MRA, dan bersertifikasi ASEAN Chartered Professional Engineer (ACPE).
“Sementara insinyur di seluruh kawasan yang Masyarakat Ekonomi ASEAN yang sudah ber-standar MRA dan bersertifikasi ACPE sudah banyak sekali. Mencapai 700 orang lebih, didominasi Singapura dan Malaysia,” ucap Bobby.
Enam kriteria MRA adalah pendidikan, ujian, registrasi dan pemberian lisensi, pengalaman pendidikan profesional lanjutan, dan kode etik. Karena itu, Bobby menghimbau tenaga insinyur Indonesia untuk segera memenuhi kriteria-kriteria tersebut.
PII: Hadapi MEA, Insinyur Indonesia Harus Tingkatkan Daya Saing
Jumat, 14 November 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar